Saterdag 06 April 2013

Tentang DPD dan SEJARAHNYA



DEWAN PERWAKILAN DAERAH
(DPD)
A.              Sejarah Dewan Perwakilan Daerah
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini.
Keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Gagsan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan “utusan golongan” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), gagasan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS.

Bila dibandingkan dari segi kelahiran lembaganya, DPD memang jauh lebih muda dari DPR, karena DPR lahir sejak tahun 1918 (dulu bernama Volksraad). Namun, apabila dilihat dari segi gagasannya,  keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Dicatat oleh Indra J. Piliang dalam sebuah buku yang diterbitkan DPD, bahwa pemikiran ini lahir pertama kali dalam konferensi GAPI pada 31 Januari 1941 (Kelompok DPD di MPR RI, 2006: 15).
Pada masa pemerintahan Soeharto, utusan daerah sebagai anggota MPR hanya bekerja sekali dalam lima tahun, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan GBHN. Tidak ada hal lainnya yang dapat dilakukan oleh utusan daerah selama lima tahun masa jabatannya. Akibatnya, efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengambilan keputusan tingkat nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan konsep parlemen dua kamar (bikameral) yang menjadi rujukan perwakilan daerah, keberadaan utusan daerah ini berada di luar konteks.
Perkembangan pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada pembahasan amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Perubahan pertama UUD 1945 disahkan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dan perubahan kedua dilakukan pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 7-18 Agustus 2000. Setelah perubahan kedua tersebut, MPR masih memandang perlu untuk melanjutkan ke perubahan ketiga UUD 1945. Dalam perubahan ketiga inilah muncul gagasan untuk membentuk parlemen yang menganut sistem bikameral, yang kemudian melahirkan secara legal formal DPD yang ada sekarang.
Fungsi dan struktur organisasi parlemen dalam negara hukum yang menganut prinsip-prinsip kedaulatan rakyat atau negara hukum demokratis kehadiran lembaga perwakilan (parlemen) merupakan sebuah keniscayaan. Adapun fungsi pokok dari lembaga perwakilan(parlemen) itu pertama-tama adalah pengawasan terhadap eksekutif, baru setelah itu fungsi-fungsi legeslatif(fungsi pembuatan undang-undang). Bentuk-bentuk pengawasan oleh parlemen itu macam-macam. Apabila kita meneliti konstitusi berbagai negara di dunia kita dapat menemukan beberapa bentuk pengawasan yang dapat dilakukan oleh lembaga parlemen terhadapa kinerja pemerintah. Diantara bentuk-bentuk yang penting dalam rangka pengawasan adalah
 (1) Mengangkat dan memberhentikan kabinet;
(2) hak menentukan dan mengawasi anggaran dan keuangan;
(3) melindungi hak milik dan kekayaan warga masyarakat;
(4) menyelenggarakan forum perdebatan parlemen;
(5) melakukan dengar pendapat;
(6) hak interpelasi dan pertanyaan;
(7) melaksanakan fungsi pemerintah secara bersamaan; dan
 (8) melaksanakan fungsi semi-legislatif dan semi-judisial.
Sementara itu dalam perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen biasanya dikenal tiga macam sistem, yaitu sistem unikaremal, sistem bikameral dan trikameral.
B.           ANALISA
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah lebaga legislatif baru yang dibentuk setelah amandeman UUD 194. Dasar pembentukannya adalah perubahan Ketiga UUD 1945, yaitu dalam Pasal 22C, 22D dan 22E UUD 1945. Dalam perubahan keempat UUD 1945, posisi DPD diatur lebih lanjut dalam konteksnya sebagai bagian dari MPR. Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Majelis Permusyawarahan Rakyta terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Berkaitan dengan keanggotaan DPD,UUD 1945 menyatakan sebagai berikut (1) DPD dipilh melalui Pemilihan Umum; (2) Mewakili setipa propinsi untuk jumlah yang sama unutk setiap propinsi;(3) Merupakan Calon Perseorangan;(4) Jumlah Anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
Sementara Kewenangan DPD, UUD 1945 Menyebutkan antara lain :
(1) Dapat mengajukan ke DPR RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemerkaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan pertimbangan keuangan pusat dan daerah;
(2) Ikut membahas RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan pertimbangan keuangan pusat dan daerah;
(3) Memberi pertimbangan kepada DPR atas RUU PABN dan RUU yang terkait dengan pajak, pendidikan dan agama;
(4) Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU yang terkait otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan pertimbangan keuangan pusat dan daerah serta menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR;
(5) Menerima hasil pemeriksaan keuangan dari BPK;
(6) Memberikan pertimbangan kepada DRP mengenai pemilihan anggota BPK.
Komposisi dan kewenangan DPD yang diatur dalam UUD 1945 tersebut menimbulkan kritik. Kritik berkaitan dengan jumlah anggota DPD yang tidak boleh lebih dari sepertiga anggota DPR, sementara ptutusan MPR diambil dengan suara terbanyak, sehingga DPD tidak bisa menjadi penyeimbang dari peran-peran DPR. Selain itu terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPD. Kewenangan DPD tidak cukup signifikan dilihat dari gagasan pembentukannya dan DPD memamg didesain lebih rendah dari DPR bahkan diketahui sebagai embel-embel DPR.
Kritik berikutnya yang bisa dikemukakan adalah terkait dengan rumusan dalam Pasal 7C UUD 1945 hanya memberi jaminan bahwa hanya DPR yang tidak bisa dibubarkan oleh Presiden sehingga DPD bisa dikatakan Presiden berhak membubarkannya, karena tidak ada jaminan yang tegas dan eksplisit dalam UUD dan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa hany pertimbangan DPR yang diperlukan oleh presiden ketika menyatakan perang, damai dan dalam membuat perjanjian internasional. Dan ada kiranya pasal-pasal lain dalam UUD 1945 dan perubahannya bersifat diskriminatif terhadap keberadaan DPD.
Untuk mengatasi timpangnya fungsi dan wewenang DPD terhadap DPR, maka kedepannya perlu dibangun kedudukan yang setara antara DPR dan DPD sehingga MPR benar-benar menjadi lembaga perwakilan dengan sistem dua kamar murni/bikameral simetris (strong bicaeralism). Salah satu keuntungan dalam sistem bikameral dalah kemampuan anggota untuk:
 (1) secara resmi mewakili beragam pemilih(misalnya negara bagian, wilayah, etnik, atau golongan);
(2) memfasilitasi penyusunan perundang-undangan;
(3) mencegah disahkannya perundang-undangan yang cacat atau ceroboh;
(4) melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif.
Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah. Bahkan menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Bahkan, dari segi produktifitas, kemungkinan sistem dua kamar (yang efektif) akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan oleh kedua kamar tanpa menunggu atau tergantung pada salah satu kamar saja.
Melihat pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur DPD, lembaga ini tidak memiliki wewenang membentuk undang-undang bersama-sama dengan DPR dan Presiden. Wewenang DPD terbatas dan sempit, karena DPD hanya untuk memberi pertimbangan. Seolah-olah DPD hanya berposisi sebagai Dewan Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Begitu juga ketentuan yang sama dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang turunannya, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No 22/2003). Karenanya harus diakui perubahan UUD 1945 amat membatasi kewenangan DPD, begitu juga dalam UU No 22/2003. Baik dalam Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 42 dan 43 UU No 22/2003 menunjukkan betapa terbatasnya wewenang DPD. DPD hanya ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR saat DPR melaksanakan kewenangannya.
Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teori-teori ketatanegaraan, yaitu fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar secara berimbang (balance) dalam proses legislasi maupun pengawasan. Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk membangun kesetaraan DPD dan DPR dalam bingkai bikameral simetris adalah dengan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 pasca amandemen terhadap sisi kelemahan yang cukup mendasar. Komisi Konstitusi (KK) telah melakukan kajian sekaligus usulan laternatif terhadap berbagai ketentuan yang dianggap bermasalah dalam UUD 1945 hasil perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat. Terkait dengan fungsi dan wewenang DPD, KK mengusulkan perubahan terhadap Pasal 22D ayat (2) menjadi bunyi “Dewan Perwakilan Daerah dapat menyetujui atau menolak rancangan undang-undang berkaitan dengan; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapat dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Berbagai hasil kajian dan usulan perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 pasca peubahan yang dilakukan KK tidak pernah disentuh apalagi dibahas secara mendalam oleh MPR, karena MPR berpendapat KK telah melaksanakan tugas dengan melapaui tugas yang diberikan sebagaimana tercantum dalam keputusan MPR Nomor 4/MPR/2003. Hasil kerja KK tersebut oleh BP MPR disebut kurang mencerminkan prinsip-prinsip sebuah kajian ilmiah akademis. Penolakan hasil kerja KK oleh MPR merupakan bukti bahwa didalam tubuh MPR masih bercokolnya kepentingan kelompok-kelompok domain yang lebih mementingkan kepentingan-kepentingan jangka pendek dan membenarkan kesimpulan yang dikemukakan oleh Koalisi untuk konstitusi baru bahwa MPR merupakan bagian harus diselesaikan dalam proses amandeman UUD 1945.

Tugas dan wewenang DPD antara lain:

1.       Mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,

2.       hubungan pusat dan daerah,

3.       pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah,

 4.      pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

DPR kemudian mengundang DPD untuk membahas RUU tersebut.
Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
Melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang RUU yang berkaitan dengan APBN
Kekebalan hukum


C.KEKEBALAN HUKUM

Anggota DPD tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPD, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga. Ketentuan tersebut tidak berlaku jika anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal mengenai pengumuman rahasia negara.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking